Selasa, 21 Juli 2015

Pertama Kali Naik Pesawat

Strategi Mengatasi Kecemasan dalam Komunikasi Antar Pribadi Yang Berbeda Latar Belakang Budaya (Indonesia – Jepang)

Pengalaman ini saya alami ketika masih SMU kelas 3. Saat itu saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang. Program ini berjalan selama satu setengah bulan, siswa-siswi dari 10 negara Asean dan Jepang berkumpul di Tokyo untuk melakukan pertukaran kebudayaan.
Dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat pas-pasan, apalagi kemampuan bahasa Jepang yang masih nol besar, saya memiliki tingkat kecemasan yang tinggi untuk berkomunikasi pada awalnya. Ini adalah pertama kalinya saya pergi ke tempat yang jauh sendiri tanpa orang tua dan keluarga. Ini juga pertama kalinya saya naik pesawat terbang dan pergi keluar negeri.
Masih teringat dengan jelas saat itu 10  September 2001 jam 11 malam berangkat dari Jakarta menuju Tokyo. Rasa minder karena pengetahuan yang sangat terbatas akan perjalanan dengan menggunakan pesawat juga karena tidak lancar berbahasa asing membuat perut terasa mulas. Saya duduk di kursi di samping jendela dengan dua orang teman seperjalanan berwarganegara Jepang. Ibu dan anak yang duduk di sebelah sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris sedang saya sendiri tidak bisa berbahasa Jepang. Tapi saya harus berkomunikasi dengan mereka karena saya takut sendirian.
Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan selama 6 jam ke depan selama perjalanan. Saya bahkan tidak tahu cara menyalakan TV yang ada di depan kursi. Bagaimana cara memasang sabuk pengaman, bagaimana pergi ke kamar mandi dan masih banyak hal lainya lagi. Apalagi dengan begitu banyaknya film-film yang pernah ditonton tentang kecelakaan pesawat terbang dan lain sebagainya. Bahkan ketika pramugari menjelaskan pintu darurat dan hal-hal lainya dalam bahasa Inggris saya bingung karena tidak memahaminya.
Bagaimana cara memulai komunikasi? Apakah Ibu dan anak ini akan bisa memahami kata-kata yang saya sampaikan? Apakah mereka akan merasa nyaman berbicara dengan saya? Begitu banyak pertanyaan dan ketakutan-ketakutan akan penolakan sebelum saya memberanikan diri memulai komunikasi.
Saya harus memulai komunikasi, mencoba dengan tersenyum pada Ibu dan anak yang duduk di sebelah. Mereka balas tersenyum. Ternyata senyum adalah bahasa non verbal yang mudah dipahami oleh  hampir semua orang di dunia. Saya buka buku kecil percakapan sehari-hari dalam bahasa Jepang. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan.
Si Ibu menunjuk pada sabuk pengaman di samping kursi saya yang belum terpasang. Saya hanya bisa menatap si Ibu dengan tampang tidak tahu bagaimana cara memasangnya. Mencoba apakah menggelengkan kepala dan mengangkat bahu juga merupakan bahasa non verbal yang mudah dipahami oleh orang dari bangsa lain. Ternyata dia tahu bahwa saya tidak tahu cara memasangnya. Ibu tersebut melambaikan tangan kearah pramugari yang ada di depan sehingga langsung datang menghampiri kursi kami. Si Ibu berbicara dalam bahasa Jepang sepertinya menjelaskan ketidaktahuanku dalam memasang sabuk pengaman dan menunjuk sabuk pengaman yang belum terpasang. Mbak pramugari cantik menjelaskan sekali lagi dengan menggunakan bahasa Inggris secara pelan-pelan, dan memberikan contoh cara memakai sabuk pengaman yang dapat saya praktekan dengan mudah.
Setelah mbak pramugari pergi meninggalkan kursi kami, saya coba memulai percakapan. “Watashi no namae Dini  desu, Indonesia karakimashita” saya mencoba memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang yang kurang lebih artinya nama saya Dini dari Indonesia. Tangan saya terulur untuk berjabat tangan yang disambut oleh Ibu dan Anak tersebut. “ Yoroshiku Onegai shimasu” senang berkenalan dengan Anda. “ O namae wa?” Siapa nama Anda?
Sengaja saya memilih menggunakan Bahasa Jepang daripada Bahasa Inggris agar lebih akrab. Dalam kompetensi komunikasi antarpribadi kemampuan adaptability dan conversational involvement sedang coba saya praktekan disini. Beradaptasi dengan bahasa lawan bicara saya dan berusaha terlibat aktif dalam komunikasi.
Ibu yang duduk di sebelah saya tampak terkejut mendengar saya berbicara dalam bahasa Jepang. Dia tampak senang melihat saya yang bukan orang Jepang mau berkomunikasi dalam bahasa Jepang. Dia langsung menjawab panjang lebar dalam bahasa Jepang. Dan saya tidak memahaminya, saya hanya bisa mendengar bahwa namanya Kurushima dan anaknya Miho. Selebihnya saya tidak paham.
Setidaknya usaha saya untuk memulai komunikasi dengan self disclosure sudah menampakan hasil. Benar juga bahwa orang akan membuka dirinya ketika kita juga terbuka. “ Sumimasen, Eigo ga dekimasu ka?” saya mencoba menanyakan apakah Ibu Kurushima bisa berbahasa Inggris. Karena walaupun dia tampak sangat ramah dan asyik bercerita akan tetapi obrolan tidak akan berlangsung dua arah apabila saya tidak paham apa yang dia katakan. Terpaksa saya melakukan Deception dengan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan paham.
“Sukoshi dekiru…” Ibu kurushima menjawab dia hanya bisa sedikit bahasa Inggris. Perjalanan baru 30 menit, saya bisa saja berpura-pura tidur agar obrolan ini berhenti sampai disini. Daripada diteruskan tapi sama-sama tidak faham. Selain itu kemampuan yang masih harus saya tingkatkan disini adalah conversational management. Secara jujur saya mengakui bahwa saya benar-benar kehabisan topik pembicaraan dikarenakan keterbatasan bahasa. Akan tetapi kalau merujuk pada Social Exchange Theory saya membutuhkan obrolan ini untuk membantu saya tahu bagaimana cara menyalakan TV , makan, ke kamar mandi dan yang pasti membuat saya merasa nyaman dalam penerbangan pertama.
Miho sang anak mencoba mengajak ngobrol dalam bahasa Inggris “ Dini-san, Is it ur first flight to Japan?”. Untungnya bahasa Inggris ini masih bisa difahami tapi saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Lagi-lagi senjata utama yakni bahasa nonverbal keluar dengan menganggukan kepala berharap Miho tau maksud saya yaitu ini memang perjalanan pertama dan dengan penambahan sedikit bahasa Jepang” HAIK, HAIK” yang artinya “Iya”.
Ibu Kurushima sibuk mengeluarkan kamus bahasa Jepang-Indonesia dari tas tanganya. Dia berempati pada saya dan berusaha memakai bahasa Indonesia guna memeperlancar komunikasi yang kami lakukan. “ Saya dari Bari ” ibu Kurushima terbata-bata mengucapkan bahasa Indonesia. Arti kata-kata saya dari Bari bisa berarti banyak, tapi dalam konteks ini kemungkinan besar artinya dia baru saja dari Bali mengingat orang Jepang tidak bisa melafalkan ‘L’. Saya bisa saja menanyakan lagi maksud perkataanya, tapi saya tidak ingin melakukan face threatening act (FTA) alias tidak ingin mempermalukanya. Penghargaan terhadap usaha beliau berbahasa Indonesia saya lakukan dengan memujinya “Waa Sugoi…Indonesiago ga ii ne..”.
Ternyata orang Jepang dan Indonesia sebagai sesama bangsa yang ber-culture collectivistic memiliki kesamaan dalam menyelamatkan wajah bersama. Kami lebih berorientasi pada other-face maupun mutual-face concern. Berusaha mengakomodasi perbedaan yang ada dan pada akhirnya saling menghargai kedua budaya tanpa meniadakan salah satu budaya. Dalam setiap budaya tidak ada yang lebih baik ataupun buruk “Its not wrong its not right, just different”.
Setelah itu pembicaraan kami lanjutkan dalam bahasa Inggris “ Vacation or business?” tanya saya. Ibu Kurushima mengangkat alisnya, tampak kebingungan “vacationg?? Ano.. eto…nan desu ka?” Dia bertanya pada anaknya dalam bahasa Jepang. Miho menjawab pada saya “ Pikuniku…” Kepala saya berpikir keras apa artinya. Miho menggerakan tanganya seakan-akan sedang berenang gaya katak. Dan saya mengerti maksudnya adalah piknik. Percakapan mulai lancar saya tidak terlalu sering berpikir keras lagi karena mulai bisa menyesuaikan lafal pengucapan Ibu Kurushima dan Miho.
Saya mulai bercerita tujuan saya pergi ke Jepang adalah untuk pertukaran pelajar. Di Tokyo saya akan bersekolah di sebuah Internasional Gakoen daerah Harajuku. Dari Miho saya tahu bahwa istilah untuk siswa pertukaran adalah ryugakusei. Bahwa Harajuku adalah pusat mode di Jepang, pusat berkumpul anak muda di Jepang. Pembicaraan sampai pada budaya orang Jepang yang suka tidur larut malam. Mandi hanya satu kali di pemandian air panas yang disebut sebagai ofuro.
Begitu banyak informasi yang saya terima di perjalanan ini, jauh lebih banyak dari buku-buku komik yang selama ini saya baca selama 10 tahun terakhir. Informasi-informasi ini sangat berguna sebagai bekal hidup di Jepang selama satu setengah bulan kedepan. Akhirnya saya pun bercerita tentang agama saya. Bahwa saya seorang muslim yang tidak boleh memakan daging babi dan bagaimana menghindari makan babi di Jepang. Miho dan Ibu Kurushima menjelaskan bahwa sebaiknya saya mengungkapkan itu pertama kali bertemu dengan keluarga angkat saya di Tokyo nanti. Akhirnya setelah 2 jam lebih mengobrol kami mengantuk dan tertidur.
Keseluruhan dialog yang kami lakukan berlandaskan pada hubungan Hubungan Aku-Engkau “I Thou”. Komunikasi yang berjalan berlangsung spontan, jujur. Kami tidak berusaha memaksakan pandangan. Walau ada perbedaan diantara kami, Babi haram buat muslim seperti saya dan tidaklah haram dikonsumsi Miho dan Ibu Kurushima. Akan tetapi kami berusaha saling memahami dan menghargai perbedaan tersebut, menerima tanpa syarat.
Juga tidak ada keinginan untuk merubah keyakinan Ibu Kurushima ataupun Miho menjadi tidak makan Babi ataupun sebaliknya. Begitupun kebiasaan mandi orang jepang yang hanya sekali dan orang Indonesia yang dua kali tidak serta merta membuat kami saling berpikir negatif ataupun menyalahkan salah satu kebiasaan. Kami menyadari bahwa semua orang memiliki genuineness atau authenticity.
Keesokan harinya saya dibangunkan oleh Ibu Kurushima, sudah ada mbak pramugari yang membawa sarapan di sebelah kursi kami. Ada berbagai pilihan menu yang terasa asing semua untuk saya. Ibu Kurushima dan Miho memilih sandwich untuk sarapan, daripada bingung memilih saya meniru dan melakukan hal yang sama. Tiba-tiba Miho menghentikan mbak pramugari yang akan memberikan sandwich pada saya.
“Dini-san, kore wa butaniku, anata wa buta o taberu dame desu!” haduh ini si Miho ngomong apalagi. Mana perut sudah lapar. Mbak Pramugari berbicara dalam bahasa Inggris “ Ooo are u a moslem? Sorry this sandwich is pork. Do u want to change ur breakfast?”. Ternyata sandwichnya berisi daging babi. Untungnya Miho mengingatkan, dia mengingatkan karena dia tahu bahwa saya tidak boleh makan babi. Miho tahu muslim tidak boleh makan babi setelah percakapan panjang semalam. Seandainya saya tidak memulai percakapan yang sulit itu mungkin pagi ini saya sudah memakan daging babi yang haram di agama saya.
 Keberhasilan dari komunikasi yang telah berjalan ini adalah hambatan bahasa bukan menjadi masalah besar selama kita memiliki motivasi dan niatan untuk berkomunikasi. Karena dibalik semua bahasa ada bahasa buana yang bisa diterima semua orang. Yaitu bahasa non verbal, bahasa tubuh, ataupun bahasa tarzan.
Taktik saya dalam  Compliance Gaining yakni berusaha mempengaruhi hubungan dengan mengatakan kesukaan kepada Ibu Kurushima dan Miho ketika mereka berusaha berbahasa Indonesia. Menghormati, menciptakan daya tarik emosional, menunjukkan rasa puas (flattering). Taktik ini terbukti berhasil dilakukan.Tujuan saya berkomunikasi tercapai, komunikan dapat memahami pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator. Dan kedua belah pihak dapat mendapatkan keuntungan dari komunikasi tersebut, keuntungan saya mendapat informasi tentang Negara yang akan saya datangi, terhindar dari mendapat dosa dengan makan babi. Keuntungan buat Ibu Kurushima dan Miho mendapat teman baru dari Indonesia yang sangat menghargai budaya orang Jepang.

Di Akhir perjalan kami saling bertukar alamat email karena saat itu belum ada Facebook ataupun Twitter. Hingga kini sesekali saya masih chatting dengan Miho. Tahun 2006 yang lalu dia datang ke Jakarta dan kami bertemu lagi. Pernah ketika Ibu Kurushima ulang tahun saya mengirim buku resep masakan Indonesia berbahasa Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar