Strategi Mengatasi Kecemasan dalam Komunikasi Antar Pribadi Yang Berbeda Latar Belakang Budaya (Indonesia – Jepang)
Pengalaman ini
saya alami ketika masih SMU kelas 3. Saat itu saya mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang. Program ini berjalan selama satu setengah
bulan, siswa-siswi dari 10 negara Asean dan Jepang berkumpul di Tokyo untuk
melakukan pertukaran kebudayaan.
Dengan kemampuan
bahasa Inggris yang sangat pas-pasan, apalagi kemampuan bahasa Jepang yang masih
nol besar, saya memiliki tingkat kecemasan yang tinggi untuk berkomunikasi pada
awalnya. Ini adalah pertama kalinya saya pergi ke tempat yang jauh sendiri
tanpa orang tua dan keluarga. Ini juga pertama kalinya saya naik pesawat
terbang dan pergi keluar negeri.
Masih teringat dengan
jelas saat itu 10 September 2001 jam 11
malam berangkat dari Jakarta menuju Tokyo. Rasa minder karena pengetahuan yang
sangat terbatas akan perjalanan dengan menggunakan pesawat juga karena tidak
lancar berbahasa asing membuat perut terasa mulas. Saya duduk di kursi di
samping jendela dengan dua orang teman seperjalanan berwarganegara Jepang. Ibu
dan anak yang duduk di sebelah sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris sedang
saya sendiri tidak bisa berbahasa Jepang. Tapi saya harus berkomunikasi dengan
mereka karena saya takut sendirian.
Karena tidak
tahu apa yang harus dilakukan selama 6 jam ke depan selama perjalanan. Saya
bahkan tidak tahu cara menyalakan TV yang ada di depan kursi. Bagaimana cara
memasang sabuk pengaman, bagaimana pergi ke kamar mandi dan masih banyak hal
lainya lagi. Apalagi dengan begitu banyaknya film-film yang pernah ditonton
tentang kecelakaan pesawat terbang dan lain sebagainya. Bahkan ketika pramugari
menjelaskan pintu darurat dan hal-hal lainya dalam bahasa Inggris saya bingung
karena tidak memahaminya.
Bagaimana cara
memulai komunikasi? Apakah Ibu dan anak ini akan bisa memahami kata-kata yang
saya sampaikan? Apakah mereka akan merasa nyaman berbicara dengan saya? Begitu
banyak pertanyaan dan ketakutan-ketakutan akan penolakan sebelum saya
memberanikan diri memulai komunikasi.
Saya harus
memulai komunikasi, mencoba dengan tersenyum pada Ibu dan anak yang duduk di
sebelah. Mereka balas tersenyum. Ternyata senyum adalah bahasa non verbal yang
mudah dipahami oleh hampir semua orang
di dunia. Saya buka buku kecil percakapan sehari-hari dalam bahasa Jepang.
Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan.
Si Ibu menunjuk
pada sabuk pengaman di samping kursi saya yang belum terpasang. Saya hanya bisa
menatap si Ibu dengan tampang tidak tahu bagaimana cara memasangnya. Mencoba
apakah menggelengkan kepala dan mengangkat bahu juga merupakan bahasa non
verbal yang mudah dipahami oleh orang dari bangsa lain. Ternyata dia tahu bahwa
saya tidak tahu cara memasangnya. Ibu tersebut melambaikan tangan kearah pramugari
yang ada di depan sehingga langsung datang menghampiri kursi kami. Si Ibu berbicara
dalam bahasa Jepang sepertinya menjelaskan ketidaktahuanku dalam memasang sabuk
pengaman dan menunjuk sabuk pengaman yang belum terpasang. Mbak pramugari
cantik menjelaskan sekali lagi dengan menggunakan bahasa Inggris secara
pelan-pelan, dan memberikan contoh cara memakai sabuk pengaman yang dapat saya
praktekan dengan mudah.
Setelah mbak
pramugari pergi meninggalkan kursi kami, saya coba memulai percakapan. “Watashi
no namae Dini desu, Indonesia
karakimashita” saya mencoba memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang yang kurang
lebih artinya nama saya Dini dari Indonesia. Tangan saya terulur untuk berjabat
tangan yang disambut oleh Ibu dan Anak tersebut. “ Yoroshiku Onegai shimasu”
senang berkenalan dengan Anda. “ O namae wa?” Siapa nama Anda?
Sengaja saya
memilih menggunakan Bahasa Jepang daripada Bahasa Inggris agar lebih akrab.
Dalam kompetensi komunikasi antarpribadi kemampuan adaptability dan conversational
involvement sedang coba saya praktekan disini. Beradaptasi dengan bahasa
lawan bicara saya dan berusaha terlibat aktif dalam komunikasi.
Ibu yang duduk
di sebelah saya tampak terkejut mendengar saya berbicara dalam bahasa Jepang.
Dia tampak senang melihat saya yang bukan orang Jepang mau berkomunikasi dalam
bahasa Jepang. Dia langsung menjawab panjang lebar dalam bahasa Jepang. Dan
saya tidak memahaminya, saya hanya bisa mendengar bahwa namanya Kurushima dan
anaknya Miho. Selebihnya saya tidak paham.
Setidaknya usaha
saya untuk memulai komunikasi dengan self
disclosure sudah menampakan hasil. Benar juga bahwa orang akan membuka
dirinya ketika kita juga terbuka. “ Sumimasen, Eigo ga dekimasu ka?” saya
mencoba menanyakan apakah Ibu Kurushima bisa berbahasa Inggris. Karena walaupun
dia tampak sangat ramah dan asyik bercerita akan tetapi obrolan tidak akan
berlangsung dua arah apabila saya tidak paham apa yang dia katakan. Terpaksa
saya melakukan Deception dengan
mengangguk-anggukan kepala seakan-akan paham.
“Sukoshi
dekiru…” Ibu kurushima menjawab dia hanya bisa sedikit bahasa Inggris.
Perjalanan baru 30 menit, saya bisa saja berpura-pura tidur agar obrolan ini
berhenti sampai disini. Daripada diteruskan tapi sama-sama tidak faham. Selain
itu kemampuan yang masih harus saya tingkatkan disini adalah conversational management. Secara jujur
saya mengakui bahwa saya benar-benar kehabisan topik pembicaraan dikarenakan
keterbatasan bahasa. Akan tetapi kalau merujuk pada Social Exchange Theory saya membutuhkan obrolan ini untuk membantu
saya tahu bagaimana cara menyalakan TV , makan, ke kamar mandi dan yang pasti
membuat saya merasa nyaman dalam penerbangan pertama.
Miho sang anak
mencoba mengajak ngobrol dalam bahasa Inggris “ Dini-san, Is it ur first flight
to Japan?”. Untungnya bahasa Inggris ini masih bisa difahami tapi saya tidak
tahu bagaimana menjawabnya. Lagi-lagi senjata utama yakni bahasa nonverbal keluar
dengan menganggukan kepala berharap Miho tau maksud saya yaitu ini memang perjalanan
pertama dan dengan penambahan sedikit bahasa Jepang” HAIK, HAIK” yang artinya “Iya”.
Ibu Kurushima
sibuk mengeluarkan kamus bahasa Jepang-Indonesia dari tas tanganya. Dia
berempati pada saya dan berusaha memakai bahasa Indonesia guna memeperlancar komunikasi
yang kami lakukan. “ Saya dari Bari ” ibu Kurushima terbata-bata mengucapkan
bahasa Indonesia. Arti kata-kata saya dari Bari bisa berarti banyak, tapi dalam
konteks ini kemungkinan besar artinya dia baru saja dari Bali mengingat orang
Jepang tidak bisa melafalkan ‘L’. Saya bisa saja menanyakan lagi maksud
perkataanya, tapi saya tidak ingin melakukan face threatening act (FTA) alias tidak ingin mempermalukanya. Penghargaan terhadap usaha beliau
berbahasa Indonesia saya lakukan dengan memujinya “Waa Sugoi…Indonesiago ga ii
ne..”.
Ternyata orang
Jepang dan Indonesia sebagai sesama bangsa yang ber-culture collectivistic memiliki kesamaan dalam menyelamatkan wajah
bersama. Kami lebih berorientasi pada other-face
maupun mutual-face concern. Berusaha
mengakomodasi perbedaan yang ada dan pada akhirnya saling menghargai kedua
budaya tanpa meniadakan salah satu budaya. Dalam setiap budaya tidak ada yang
lebih baik ataupun buruk “Its not wrong
its not right, just different”.
Setelah itu
pembicaraan kami lanjutkan dalam bahasa Inggris “ Vacation or business?” tanya
saya. Ibu Kurushima mengangkat alisnya, tampak kebingungan “vacationg?? Ano..
eto…nan desu ka?” Dia bertanya pada anaknya dalam bahasa Jepang. Miho menjawab
pada saya “ Pikuniku…” Kepala saya berpikir keras apa artinya. Miho menggerakan
tanganya seakan-akan sedang berenang gaya katak. Dan saya mengerti maksudnya
adalah piknik. Percakapan mulai lancar saya tidak terlalu sering berpikir keras
lagi karena mulai bisa menyesuaikan lafal pengucapan Ibu Kurushima dan Miho.
Saya mulai
bercerita tujuan saya pergi ke Jepang adalah untuk pertukaran pelajar. Di Tokyo
saya akan bersekolah di sebuah Internasional Gakoen daerah Harajuku. Dari Miho
saya tahu bahwa istilah untuk siswa pertukaran adalah ryugakusei. Bahwa Harajuku adalah pusat mode di Jepang, pusat
berkumpul anak muda di Jepang. Pembicaraan sampai pada budaya orang Jepang yang
suka tidur larut malam. Mandi hanya satu kali di pemandian air panas yang
disebut sebagai ofuro.
Begitu banyak
informasi yang saya terima di perjalanan ini, jauh lebih banyak dari buku-buku
komik yang selama ini saya baca selama 10 tahun terakhir. Informasi-informasi
ini sangat berguna sebagai bekal hidup di Jepang selama satu setengah bulan
kedepan. Akhirnya saya pun bercerita tentang agama saya. Bahwa saya seorang
muslim yang tidak boleh memakan daging babi dan bagaimana menghindari makan
babi di Jepang. Miho dan Ibu Kurushima menjelaskan bahwa sebaiknya saya
mengungkapkan itu pertama kali bertemu dengan keluarga angkat saya di Tokyo
nanti. Akhirnya setelah 2 jam lebih mengobrol kami mengantuk dan tertidur.
Keseluruhan
dialog yang kami lakukan berlandaskan pada hubungan Hubungan Aku-Engkau “I Thou”. Komunikasi yang berjalan
berlangsung spontan, jujur. Kami tidak berusaha memaksakan pandangan. Walau ada
perbedaan diantara kami, Babi haram buat muslim seperti saya dan tidaklah haram
dikonsumsi Miho dan Ibu Kurushima. Akan tetapi kami berusaha saling memahami dan
menghargai perbedaan tersebut, menerima tanpa syarat.
Juga tidak ada keinginan untuk
merubah keyakinan Ibu Kurushima ataupun Miho menjadi tidak makan Babi ataupun
sebaliknya. Begitupun kebiasaan mandi orang jepang yang hanya sekali dan orang
Indonesia yang dua kali tidak serta merta membuat kami saling berpikir negatif
ataupun menyalahkan salah satu kebiasaan. Kami menyadari bahwa semua orang
memiliki genuineness atau authenticity.
Keesokan harinya
saya dibangunkan oleh Ibu Kurushima, sudah ada mbak pramugari yang membawa
sarapan di sebelah kursi kami. Ada berbagai pilihan menu yang terasa asing
semua untuk saya. Ibu Kurushima dan Miho memilih sandwich untuk sarapan,
daripada bingung memilih saya meniru dan melakukan hal yang sama. Tiba-tiba
Miho menghentikan mbak pramugari yang akan memberikan sandwich pada saya.
“Dini-san, kore
wa butaniku, anata wa buta o taberu dame desu!” haduh ini si Miho ngomong
apalagi. Mana perut sudah lapar. Mbak Pramugari berbicara dalam bahasa Inggris
“ Ooo are u a moslem? Sorry this sandwich is pork. Do u want to change ur
breakfast?”. Ternyata sandwichnya berisi daging babi. Untungnya Miho
mengingatkan, dia mengingatkan karena dia tahu bahwa saya tidak boleh makan
babi. Miho tahu muslim tidak boleh makan babi setelah percakapan panjang
semalam. Seandainya saya tidak memulai percakapan yang sulit itu mungkin pagi
ini saya sudah memakan daging babi yang haram di agama saya.
Keberhasilan
dari komunikasi yang telah berjalan ini adalah hambatan bahasa bukan menjadi
masalah besar selama kita memiliki motivasi dan niatan untuk berkomunikasi.
Karena dibalik semua bahasa ada bahasa buana yang bisa diterima semua orang.
Yaitu bahasa non verbal, bahasa tubuh, ataupun bahasa tarzan.
Taktik saya
dalam Compliance Gaining yakni berusaha
mempengaruhi hubungan dengan mengatakan kesukaan kepada Ibu Kurushima dan Miho
ketika mereka berusaha berbahasa Indonesia. Menghormati, menciptakan daya tarik
emosional, menunjukkan rasa puas (flattering). Taktik ini terbukti berhasil
dilakukan.Tujuan saya berkomunikasi tercapai, komunikan dapat memahami pesan
yang ingin disampaikan oleh komunikator. Dan kedua belah pihak dapat
mendapatkan keuntungan dari komunikasi tersebut, keuntungan saya mendapat
informasi tentang Negara yang akan saya datangi, terhindar dari mendapat dosa
dengan makan babi. Keuntungan buat Ibu Kurushima dan Miho mendapat teman baru
dari Indonesia yang sangat menghargai budaya orang Jepang.
Di Akhir
perjalan kami saling bertukar alamat email karena saat itu belum ada Facebook
ataupun Twitter. Hingga kini sesekali saya masih chatting dengan Miho. Tahun
2006 yang lalu dia datang ke Jakarta dan kami bertemu lagi. Pernah ketika Ibu
Kurushima ulang tahun saya mengirim buku resep masakan Indonesia berbahasa
Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar